Pelajaran Berbohong
Kitab #1
Perumahan Harapan Indah yang sejuk dan asri. Rumah-rumah penduduk bertipe 37 berderet rapi di kawasan seluas 20 hektar itu. Beberapa bangunan masih menampakkan wajah lamanya ketika pertama kali dibangun oleh para pemborong, namun sebagian lain sudah berubah wujud. Pepohonan Angsana, Akasia, Kersen, dan beberapa Bougenville memenuhi sepanjang jalan utama dan protokol. Empat lapangan yang terdiri dari 2 lapangan volley dan 2 lapangan basket meramaikan perumahan 6 blok itu. Matahari tinggal menunggu waktu rotasi bumi untuk menenggelamkan diri, sementara anak-anak perumahan asyik bermain di beberapa sudut jalan, lapangan, maupun halaman rumah.
Seekor burung melayang rendah melewati sebuah rumah di Blok C bernomor 17. Tanaman pagar berdiri kokoh melindungi halaman rumah itu dari serbuan debu jalanan, selebihnya tidak ada tanaman lain yang ditanam di tanah pekarangannya. Hanya 5 buah pot tanaman anggrek yang tergantung rapi. Satu jemuran praktis yang sudah terlipat teronggok di samping rumah, dengan beberapa kain bekas. Pintu depannya terbuka penuh, memperlihatkan seorang anak lelaki berusia 5 tahun yang sedang asyik bermain di tengah serakan mainannya yang berlainan jenis.
“Dede…, beresin mainannya dong. Sudah sore nih!” sahut sebuah suara agak keras yang berasal dari arah belakang.
Anak lelaki yang asyik bermain itu seperti tidak mendengarkan ucapan ibunya. Ia masih larut dengan mobil ambulans yang sudah tidak ada rodanya. “Ngeeeng….”
Suasana hening untuk sesaat.
“Dede…, mandi yuk. Sebentar lagi bapak pulang,” lanjut suara sang ibu.
Anak lelaki itu menoleh ke arah belakang. Matanya yang bening seolah mencoba memaknai ucapan ibunya barusan. Tak lama ia kembali me-ngeeeng-kan mobil ambulansnya menabraki mainan lainnya.
Sang ibu mendesah. Setelah melipat pakaian terakhir, ia meletakkan setrika yang masih panas itu dengan posisi berdiri. Lalu beranjak berdiri sambil mengelap dahinya yang telah basah berkeringat.
“Dede…,” ujarnya lembut di ruang tamu. “Dengar gak kata ibu,” lanjutnya memunguti mainan anaknya yang berserakan.
Anak lelaki itu menatap ibunya, lalu secepat kilat menyambar mobil lainnya yang juga sudah tidak utuh lagi dan berlari ke teras depan. “Ngeeeng,” lanjutnya menggerakkan kedua tangannya yang masing-masing memegang mobil mainan.
Sang ibu menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil terus memasuki mainan anaknya ke dalam plastik.
“Dede...,” sahut suara bariton dari luar halaman rumah.
Refleks, anak lelaki itu menoleh dan tersenyum. Memperlihatkan gigi-giginya yang belum sempurna tumbuh. “Bapak!” teriaknya senang, lalu berlari menyongsong kedatangan bapaknya yang baru pulang kerja.
Sang bapak begitu pula senangnya, segera menyambut dan mengangkat anak lelakinya itu tinggi-tinggi. Lalu berputar-putar hingga beberapa kali. Sang ibu begitu senang melihat keluarganya seperti itu. Tak lama, anak itu telah digendong oleh bapaknya dan dibawa masuk.
Sang ibu menyambut tangan suaminya dan menciumnya santun. Sang bapak juga tak kalah sayangnya dengan mengecup dahi istrinya. Matahari semakin condong ke barat ketika pintu rumah itu tertutup dengan rapat.
“Pak, kuda-kudaan!” teriak anak lelakinya memberontak.
“Ayo!” seru sang ayah senang. Ia pun segera menurunkan anak lelakinya dan mengambil posisi kuda.
Anak lelaki itu begitu senang dan langsung melompat ke punggung bapaknya. “Ayo, jalan!” teriaknya keras.
“Hii… haa!” teriak sang bapak menirukan suara kuda dan berjalan cepat mengelilingi ruang tamu.
Anak lelaki itu tertawa kegirangan. Kakinya terus menghentak pinggang bapaknya. “Lari terus.”
“Sudah dong, De,” seru sang ibu tak tega melihat suaminya. “Kasihan Bapak baru pulang kerja. Badannya capek.”
Anak lelaki itu tidak peduli dengan ucapan ibunya. Ia asyik tertawa memperlihatkan gigi-giginya.
“Sudah, sudah…,” seru sang bapak yang sudah ngos-ngosan. Ia berhenti. “Dede turun ya, kudanya sudah capek nih.”
“Yaa…,” sahut anak lelaki itu kecewa.
Sang ibu menggeleng-gelengkan kepala, tersenyum. Lalu ia beranjak pergi ke belakang untuk mempersiapkan makanan untuk suaminya tercinta.
Sang bapak mencoba mengatur nafasnya yang pendek-pendek. “Dede sudah mandi belum?”
Anak lelaki itu menggeleng.
“Kalau begitu….”
“Assalamu’alaikum…,” seru sebuah suara dari arah luar rumah.
Sang bapak terdiam dan menoleh ke arah luar, melalui jendela kaca rumahnya yang bergordin. Lalu ia menatap anak lelakinya erat-erat. “De, kalau orang itu nanyain Bapak, bilang aja nggak ada, ya?” bisiknya perlahan.
Anak lelaki itu mengangguk.
Tak lama sang bapak segera memasuki kamarnya dan menutup pintunya rapat-rapat. Anak lelaki itu bergerak dan membukakan pintu depan. Memperhatikan sesaat ke arah orang yang tengah berdiri di balik pintu pagar.
“Assalamu’alaikum adek manis,” sahut orang itu ramah. “Bapak ada?”
Anak lelaki itu mencoba mengingat-ingat ucapan sang bapak.
“Bapak ada?” ulang orang itu.
Dengan tangan di belakang, anak lelaki itu menatapnya, ”Kata Bapak, Bapak nggak ada.”
Orang itu mendesah. Tak lama kemudian ia mencoba tersenyum. “Anak pintar,” bisiknya perlahan. “Ya sudah, adek manis. Tolong bilang ke bapak kalau Pak Hasan ke sini ya?”
Anak lelaki itu mengangguk dan menatap kepergian orang itu.
Kitab #2
Di pinggir lapangan volley yang terletak di kawasan Blok A, sekumpulan anak-anak sedang asyik bermain dan mengobrol. Dua orang anak perempuan, Ina dan Santi, berusia 4 tahun dan 6 tahun asyik bermain masak-masakan dengan batu, pasir, rumput, dan daun-daunan perdu yang banyak tumbuh di sekitar lingkungan itu. Tiga orang anak lelaki yang berusia 6-8 tahun asyik bermain kelereng. Seseorang yang berusia paling muda, Opan, sesekali memperhatikan teman-teman perempuannya yang asyik bermain masak-masakan.
Sinar matahari sudah tidak menyengat lagi. Waktu telah menunjukkan pukul 5 sore di kawasan Perumahan Harapan Indah itu. Beberapa anak juga terlihat asyik bersepeda mengelilingi lapangan volley itu.
Tak lama datanglah seorang anak lelaki yang berusia sekitar 7 tahun dengan seorang anak perempuan yang berusia sekitar 8 tahun. Keduanya mempunyai penampilan yang lebih rapi dibandingkan dengan anak-anak lainnya yang sedang asyik bermain. Bajunya terlihat baru dan wewangian yang harum menusuk hidung.
Ina dan Santi seketika menghentikan permainannya ketika anak perempuan berbaju bagus itu berdiri tak jauh dari mereka. Santi yang saat itu sedang memegang rumput langsung mengendus-ngenduskan hidungnya.
“Weiss, baju baru euy,” seru Amir, salah seorang anak lelaki yang sedang bermain kelereng melihat kedatangan anak lelaki yang berbaju bagus.
Anak lelaki yang baru datang itu tersenyum senang, begitu pula dengan anak perempuan yang bersamanya.
“Beli di mana, Don?” tanya Ahmad, anak lelaki yang berusia paling tua.
“Di Amerika,” jawab Doni bangga.
“Bo’ong,” potong Amir tidak percaya.
“Bener, kok,” jawab Doni serius. “Saudara saya baru pulang dari Amerika,” tunjuknya pada anak perempuan di sebelahnya.
Dila, anak perempuan berbaju bagus itu tersenyum mendengar Doni mengatakan hal itu. Ia merasa bangga.
Ina dan Santi segera mendekat ke arah mereka dan ikut nimbrung di tengah-tengah obrolan itu.
“Saudara kamu orang kaya, ya?” tanya Ahmad kepada Doni.
Doni mengangguk.
“Namanya siapa?” tanya Amir.
“Dila,” jawab Doni.
“Amelikanya di mana?” tanya Ina penasaran.
“Jauh, di luar negeri,” jawab Dila tersenyum. Tangannya menunjuk ke langit.
“Deket gak cama Cilacap?” lanjut Ina menyebutkan tempat tinggal neneknya.
Dila menatap Ina dengan heran. “Jauh, ke sonoan lagi.”
“Ke sana naik apa?” tanya Santi tak kalah.
“Naik kapal terbang,” tunjuk Dila ke atas.
Mulut Ina membulat. Pandangannya melihat ke atas.
“Inaaa…!” teriak sebuah suara keras dari salah satu rumah.
Lamunan Ina buyar seketika dan menoleh ke arah suara itu, melihat ibunya yang sedang melambai-lambaikan tangannya.
“Inaa…! Ayo pulang!” ulang ibunya berteriak.
Ina memandang ke arah Dila, lalu menelusuri baju barunya itu.
“Inaa…!”
Sekali lagi ia memandang wajah Dila. Tak lama setelah itu, Ina langsung berlari pulang.
“Ayo mandi,” ajak ibunya masuk.
“Bapaak!” teriak Ina langsung menubruk bapaknya yang sedang asyik menonton televisi.
“Heh! Ina bikin kaget Bapak saja,” seru sang bapak langsung memeluk Ina.
Ina tertawa kegirangan.
“Loh, baju Ina kok kotor?” tanya sang bapak memperhatikannya.
Ina tidak memedulikannya. Bahkan, rumput yang masih digenggamnya langsung dilemparkan ke wajah bapaknya.
“Tuh, kan. Ina nakal ya,” seru sang bapak segera membersihkan wajahnya. “Memang Ina tadi main di mana sih?”
“Di Amelika,” jawab Ina cuek.
“Amerika?” tanya sang bapak keheranan.
Ina mengangguk. “Naik kapal telbang.”
Kitab #3
Malam telah turun. Bintang gemintang mulai bermunculan satu persatu mengerlipkan cahayanya, sementara bulan sudah maujud sejak sore tadi. Cahaya bulan telah penuh menyinari permukaan bumi, namun terasa kurang bagi manusia hingga menambahkan cahaya lampu di tiap-tiap rumah dan beberapa jalan.
Riki, anak lelaki berusia 8 tahun merasa cemas. Rumah orang tuanya yang berlokasi di Blok F dan bernomor 13 terasa lengang. Kedua orang tuanya sedang pergi, mengunjungi salah seorang tetangga dekatnya yang hanya berjarak 3 blok. Riki cemas karena sebuah guci kesayangan ibunya telah pecah. Tanpa ia sadari, Riki telah menyenggol guci itu ketika asyik bermain kapal-kapalan yang terbuat dari kertas. Serpihan-serpihan keramik dari yang besar hingga yang kecil telah berserakan di berbagai tempat. Riki tersedu. Apalagi jika mengingat kemarahan ibunya yang sangat ringan mulut dan ringan tangan itu. Sakit sekali.
Ia merasa bingung dan ketakutan. Tidak tahu harus bagaimana. Sekali-kali pandangannya di arahkan ke luar rumah, khawatir jika orang tuanya datang. Dan memarahinya.
Tak berapa lama, Riki memutuskan untuk keluar rumah. Lebih baik ia bermain bersama Koko, sahabat dekatnya yang juga adalah tetangga sebelah rumah.
“Koko! Koko!” teriaknya memanggil.
Tak lama Koko keluar, wajahnya tersenyum senang.
“Lagi main apa, Ko?” tanya Riki.
“Beybled.”
“Saya boleh ikut main, gak?”
Koko mengangguk, “Ayo masuk.”
Riki masuk dan mulai bermain bersama Koko. Sebuah permainan yang mengasyikkan hingga melenakan Riki akan guci ibunya yang pecah. Dan waktu pun seolah-olah bergerak dengan sangat cepatnya. Hingga….
“Riki…!” teriak sebuah suara.
Riki terdiam. Ia mencoba mempertajam pendengarannya.
“Riki…!” lanjut sebuah suara yang memang tidak terasa asing baginya itu.
Riki terdiam, kembali ia teringat akan guci ibunya. Ia memandang Koko yang terus asyik bermain. “Ko, pulang dulu ya,” ujarnya berat.
Langkah-langkah berat itu seakan-akan bergema di telinganya.
“Apa ini!?” tunjuk ibunya pada gucinya yang telah berantakan.
Wajah Riki telah pucat. Ia pun menggeleng.
“Jangan bohong! Kamu yang mecahin, kan!”
“Nggak, Bu. Riki tadi main sama Koko.”
“Ibu nggak percaya!” sahutnya keras. Dan sekali lagi, jika ia marah, tangannya langsung menjewer telinga Riki.
Kitab #4
Minggu pagi yang cerah, keesokan harinya. Burung-burung pagi asyik berterbangan dengan lincahnya, meliuk melewati dahan-dahan pepohonan. Angin bertiup perlahan, sementara awan juga sedikit bergerak ke arah utara. Sinar matahari belum menyengat. Beberapa warga sedang membersihkan halamannya. Beberapa juga terlihat sedang membersihkan selokan dan jalan yang terletak tepat di depan rumahnya. Ada ibu yang sedang bergegas pulang dari berbelanja, namun ada juga yang sebaliknya, baru berangkat berbelanja. Juga terlihat beberapa ibu muda sedang menggendong anak-anaknya yang masih kecil sambil menyuapkan bubur sarapannya. Pagi yang indah untuk bersosialisasi.
Di dalam sebuah rumah yang terletak di Blok E bernomor 15 terlihat seorang anak lelaki yang berusia sekitar 6 tahun sedang asyik menonton televisi. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi lewat 3 menit. Acara kegemarannya adalah Doraemon.
Dengan tergopoh-gopoh, Nobita berlari menuju rumahnya. “Saya pulang!” teriaknya memasuki rumah. Tak ada yang menjawab. Nobita celingukan ke segala arah mencari ibunya dan Doraemon. Tidak ada siapa-siapa. Ia pun tersenyum. “Asyik, tidak ada yang mengganggu. Aku bisa istirahat seharian,” ujarnya sendiri. Dan di dalam kamar, Nobita langsung merebahkan tubuhnya.
Di luar rumah, ibunya baru pulang dari pasar dan melihat sepatu Nobita. Ia pun langsung berteriak, “Nobita! Kamu sudah pulang.”
Nobita masih asyik tidur.
“Nobita!” teriaknya lagi. Nobita terkejut. “Waduh, gawat. Ibu pulang,” serunya cemas berlari ke sana-sini. Tak lama ia pun menemukan cara untuk selamat, dan langsung berpura-pura mengerjakan PR di meja belajarnya. “Nobita!” teriak ibunya memasuki kamar. Dan ia tersenyum melihat Nobita sedang belajar.***
Papanggungan 08.10.03
Penulis bergiat di FLP Jawa Barat
dan bekerja di Penerbit Syaamil
dan bekerja di Penerbit Syaamil