Rabu, 20 April 2011
KARTINI, MUSLIMAH PENCARI CAHAYA
“Ibu kita kartini, Pendekar Bangsa
Pendekar kaumnya, untuk merdeka”
Kisah ini mungkin terlalu sering kita dengar melalui nyanyian lagu-lagu nostalgia Indonesia semasa kecil tersebut. Lantunan nada mudah yang menyimpan kisah perjuangan seorang wanita dari karangan W.R. Supratman ini begitu bergelora. Seharusnya, sudah jelaslah bagaimana kita mengartikan arti sebuah perjuangan seorang Kartini. Terlepas dari kontroversi sejarah yang diputar balikkan oleh kaum pagan. Ia tetap merupakan sosok mujahidah yang telah mencatatkan sejarah dengan membuka akses pendidikan yang dibendung oleh sistem sosial yang tidak berkeadilan.
"Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!" Itulah ungkapan yang dilontarkan Kartini ketika menampik panggilan Raden Ajeng yang diberikan kepadanya sebagai seorang putri bangsawan (bupati). Kerendahan hati mampu mereduksi dirinya sebagai seorang kritikus kemapanan yang solutif. Kecerdasannya terhadap penguasaan bahasa, menjadi kekuatan diplomatis yang menghantarkannya dihargai lebih oleh orang di sekitarnya. Dia pernah berkeluh-kesah tapi dia juga mengimbanginya dengan cara pantas untuk bertanya tentang solusi masalah yang dihadapi. Puncaknya, ia menanyakan kembali arti eksistensi iman dalam keislamannya yang terombang-ambing dalam pribadi terpingit yang menutup akses pengetahuan agama.
Seperti ungkapannya dalam suatu surat kepada teman korespondensinya di belanda:
“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajari membaca Al-quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholih pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899).
Inilah yang perlahan namun pasti, Allah rancangkan jawaban atas pernyataan serta usahanya tersebut. Ia pun mulai berkelana dalam kehidupan pencarian jati diri imannya. Hingga suatu saat, ia temukan dalam suatu kajian ilmu tafsir Al-quran yang diberikan oleh Kyai Haji Sholeh Darat sebagai renungan dan jawaban pengelanaan keimanannya selama ini. Kartini begitu takjub akan makna Al-quran dan membuatnya tersadar oleh keimanan yang sebelumnya sempat lunglai oleh hasutan “misionaris” yang keji. Seperti dialognya:
"Kyai, perkenankanlah saya menanyakan sesuatu. Bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, tapi menyembunyikan ilmunya?" Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. "Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?" Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya. "Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, tapi aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Setelah menghilangkan keraguannya dengan keyakinan terhadap Islam, mulailah petualangan Kartini. Ia bertambah semangat dengan menjadi garda terdepan terhadap proses pencerdasan kaum wanita di bidang ilmu pengetahuan umum serta di bidang keagamaan. Ia berjuang melalui tulisan di media maupun kegiatan sosial pendidikan lainnya.
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]
Dari uraian di atas, pantaslah bagi kita merenung secara maksimal hari ini. Janganlah menunggu masa yang tiba dengan sempurna. Untukmu duhai sahabatku, sudahkah anda saat ini menjadi pribadi yang terus mencari jati diri keislaman Anda? Atau kita hanya merupakan bulir debu dari sejarah peradaban Islam yang mudah tertiup angin sehingga mudah terhapus dan tidak dikenal kebaikannya sebagai seorang khalifah Allah di muka bumi dan bagian dari umat terbaik ini. Mari kuatkan pemahaman Iman kita, untuk selalu berujar kepada semesta megah ini. Dengan kalimat syukur kita atas bimbingan Illahi.
Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya, (Q.S. Al Baqoroh:257)
“ Door Duisternis Tot Licht ”
(Minazh-Zhulumaati ilan Nuur)
Dari Kegelapan Menuju Cahaya
Oleh : Muhammad Haden Aulia Husein
Sumber : http://rumahzakat.org/detail.php?id=8073&kd=A
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar