Selasa, 26 April 2011

Sekilas tentang Sayyid Quthb


Catatan dari FB keponakanku yang lain, Fawzan Hizbulloh Husein, Al HAfidz.
Semoga dapat bermanfaat:

Dialah Ulama dan Mujahid yang berani mendobrak hegemoni Sosialisme Mesir. Tumbuh dalam rimba kejahillayahan modern dan bergeming untuk turut andil melestarikannya. Walau kesenangan itu sudah berada di depan matanya. Walaupun tahta sudah siap menampuk tubuhnya. Kursi-kursi dunia itu disediakan untuk Sayyid Quthb asal ia bersedia mengakui bahwa kedaulatan Islam belumlah final. Bahwa sistem buatan manusia adalah jalan suci. Parlementari merupakan paras molek membangun kejayaan hidup. Namun apa kata Sayyid? Ia menolaknya. Baginya, rasa sosialisme, nasionalisme, bahkan demokrasi lebih pahit dari kehinaan dunia: sumir!


Sayyid Quthb menolak menafsirkan kata tauhid hanya sekedar pengakuan lisan bahwa Allah adalah Tuhan. Doktor Syariah dari Al Azhar ini mempelajari Qur’an lebih mendalam, dan ia menyimpulkan bahwa makna tauhid lebih dari itu. Baginya tauhid sudah satu paket dengan keharusan menjalankan hukum-hukum Allah (baca: tauhid hakimiyyah) dan menolak bergabung dalam barisan oposisi tauhid. Memaknai tauhid dalam dua jurang antara al haqq dan al bathil yang coba disatukan adalah barisan absurditas yang sama sekali tidak akan mampu membawa Islam jaya. Meskipun itu demi “maslahat dakwah”. Sekalipun itu memakai “baju” Islam. Sayyid sudah tahu ukuran “baju” apa yang pas baginya, tidak lain adalah pengakuan Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan kewajiban untuk mengindahkan pencampuran antara hukum Allah dengan hukum positif (baca: hukum buatan manusia). Untuk menyadarkan saudara-saudaranya, sampai-sampai ia harus menulis satu bab penuh dalam buku Dirosah Islamiyah-nya, “Ambil Islam seluruhnya atau tidak sama sekali!”


Ya Sayyid Quthb, dia bukanlah ikhwan pada umumnya. Ia bukan juga ikhwan yang mudah disetir. Membolak-balik tafsir Qur’an demi tujuan dunia. Duduk satu meja dengan musuh-musuh tuhannya, dan keluar dengan titah bahwa Islam boleh disisipi dengan isme lainnya. Itu sama saja memalukan Umat Nabi Muhammad. Baginya, pengalaman meneliti kebobrokan sistem pendidikan dan moral di Amerika sudah memberinya kesimpulan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan. Oleh karenanya, dengan nada tegas Sayyid Quthb mewanti-wanti rekan-rekannya di Ikhwanul Muslimin Al Jazair (baca: FIS) tentang niat mereka memasuki gedung parlemen. Bagi Quthb, produk Undang-undang buatan manusia tidak akan pernah bisa sama sekali mengantarkan manusia ke jalan Tauhidullah. Parlemen adalah ruangan tergelap di dunia, dimana ketika manusia memasukinya, ia akan tersesat dan sulit untuk mencari pintu keluar.

Mesir menjadi murka. Negara dengan cap Musolinis rasa Arabia itu, meminta hidup Sayyid segera diakhiri. Apapun resikonya. Sayyid adalah bedebah bagi tirani sekularisme, namun angin semilir dalam bumbu jihadi yang menyejukkan dan mustahil berganti. “Selamat datang kematian di jalan Allah, selamat datang kehidupan abadi” ucap Sayyid dalam detik-detik menjelang syahidnya di tiang gantungan.


Perjalanan Cinta Sayyid Quthb: Jatuh Bangun Menjemput Kasih Sayang Allah


Namun dalam deretan kisah heroik itu Sayyid tumbuh dalam bingkai manusia natural. Pemuda yang memiliki niat untuk menikah memang banyak, tapi menikah dengan cara Islam dan memulai prosesnya lewat jalur tunggal berupa keikhlasan sebagai manifestasi cinta kepada Allah adalah minimum. Cinta menjadi dua sisi mata uang dalam kehidupannya: kesedihan dan ketakwaan. Tapi Sayyid Quthb tetap tegar, sekalipun dirinya mengalami dua kali jatuh cinta dan dua kali patah hati.


Seperti dikutip dari berbagai penulis yang mengambil kisah kehidupan Cinta Sayyid Quthb pada sebuah tesis mengenai dirinya, kisah cinta Quthb berjalan pertama kali saat seorang gadis datang mengetuk pintu hatinya. Dialah gadis pertama yang membangkitkan kerinduan Sayyid untuk menautkan cintanya. Embun cinta itu datang dari desa kelahiran. Namun tiga tahun sejak beliau harus menjauhkan raganya dari gadis pujaan ke Kairo untuk menuntut ilmu agama, gadis tersebut ternyata memilih menyerahkan cintanya kepada orang lain. Sayyid merasa terpukul mendengar berita ini. Tak kuasa menahan sedih, seguk tangis tak terbendung. Sangat dimaklumi bagaimana rasanya merelakan kepergian embun cinta pertama yang pernah mengisi relung jiwanya, yang pernah melambungkan asa dan melejitkan potensi kebaikannya. Cinta pertama memang indah, namun sakitnya menusuk ulu hati hingga menganga.


Embun cinta kedua lahir, menyejukkan dan membangkitkan kembali kerinduaan jiwa Sayyid untuk menautkan cintanya karena kecintaan kepada Allah. Gadis kedua ini berasal dari Kairo. Mengenai gadis ini sang Sayyid pernah menggambarkan bahwa paras gadis ini tidaklah buruk namun gagal untuk dibilang cantik. Nampaknya ada pesona lain yang memikat Sayyid sehingga merindukannya. Mungkin tatapan menyejukkan yang dibawa embun cinta ini. Sayangnya, lagi-lagi takdir tidak bermurah hati dengan cinta sang Sayyid. Di hari pertunangannya, Sayyid seakan disambar petir, pasalnya gadis tersebut sambil menangis menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang hadir dihatinya. Perkataan gadis itu seakan meruntuhkan harapan sang Sayyid untuk mendapatkan gadis yang perawan fisiknya, perawan juga hatinya.


Sayyid akhirnya memutuskan hubungan dengan gadis Kairo tersebut, pergi membawa raganya jauh dari embun cintanya. Raga Sayyid boleh saja menjauh, namun jiwanya ternyata tak mampu melepaskan pesona sang embun cinta. Selanjutnya apa yang terjadi? Sayyid tenggelam dalam penderitaan jiwa yang selalu dibawa atas nama cinta. Kesedihan bercampur kerinduan ternyata lebih menyiksa Sayyid dibanding goresan pedang yang menyayat tubuhnya. Akhirnya Sayyid mengorbankan idealismenya kemudian pergi menjemput dan rujuk kembali dengan gadis pembawa embun cinta tersebut. Namun sayang, kali ini gadis itulah yang menolak cinta sang Sayyid.


Perih bukan main gejolak rasa yang dialami Sayyid. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaan yang dirasakan Sayyid tersebut. Bahkan tercipta roman-roman yang merupakan bayang-bayang romansa cinta tersebut. Inilah peristiwa kedua yang membuat luka batin sang Sayyid. Saat harapannya menggantungkan cinta terputus oleh kekuasaan takdir. Menorehkan luka yang menganga menabur kepedihan.

Namun bukan Sayyid Quthb namanya bila beliau harus hancur gara-gara cintanya yang terhempas takdir. Dengan kebesaran hati dan sikap husnudzon terhadap takdir Allah, tanpa menafikkan kesedihan yang melanda hatinya, beliau berujar kepada sang Pemilik takdir “Apakah dunia tidak menyediakan gadis impianku? Ataukah pernikahan tidak sesuai dengan kondisiku?”. Saat cinta yang dirindu tak kunjung menerimanya, maka beliau menggantungkan seluruh cintanya pada zat yang selalu mencintainya, yang cintanya tidak akan pernah terputus, yang cintanya kekal abadi. Cintanya Allah. Ya, Allah. KepadaNyalah beliau menumpah ruahkan seluruh cinta dan mimpi-mimpinya yang tertolak takdir, sambil berlari menjemput takdirnya yang lain.



Yang luar biasa adalah, Asy Syahid sadar dirinya berada dalam realitas. Bukan dalam dunia ideal yang melulu posesif, indah dan tanpa aral. Kalau cinta tak mau menerimanya, biarlah ia mencari energi lain yang lebih hebat dari cinta. Ternyata energy tidak jauh-jauh dari kehidupannya, Allah lah Energi yang kemudian membawanya ke penjara selama 15 tahun. Dan di penjara itulah beliau dengan gemilang berhasil menulis tafsir Fi Dzhilalil Qur’an dengan cinta. Sebelum akhirnya harus meregang nyawa di tiang gantungan. Sendiri! Dengan cinta yang sudah tertumpah ruah semua untuk Rabbnya, hanya kepada Rabbnya.



Bahkan dalam novel Duri Dalam Jiwa yang ditulis Sayyid pada tahun 1947 sebelum Sayyid Quthb bergabung dalam gerakan Ikhwanul Muslimin. Sayyid sukses menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah kata dan menyajikan konflik yang pekat dengan empati, melibatkan ilmu jiwa dan penghayatan mendalam. sulit untuk berhenti sejenak membacanya karena takut kehilangan feel yang telah didapat. Dalam novel ini kita diajak untuk merasai lika-liku perasaan manusia dalam mengolah suatu rasa yang disebut cinta, cinta antar manusia. Kita diajak menyelami dalamnya cinta dan kebodohan sekaligus tarikan magnetisnya. Kita diajar untuk menjadi pecinta sejati yang tidak takut untuk berproses mengubah rasa tidak suka menjadi rasa suka, benci menjadi cinta.



"...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (Q.S. Al Baqarah: 216)




Begitu dalam dan lembutnya Sayyid Quthb dalam bermain kata, pembaca mungkin memerlukan pikiran jernih untuk menangkap pangkal konflik. Mengutip dari pengantar dalam buku ini, di dalam novel ini, Sayyid Quthb secara halus dan lembut mengisyaratkan betapa pentingnya arti keperawanan seorang gadis, karena begitu hal ini diragukan maka persoalan pelik pun akan muncul. Ada perasaan terhina dan luka hati bagai tertusuk duri dan dapat menjadi beban sepanjang hidup.



Membaca buku ini menjadi suatu kenikmatan tersendiri. Begitu banyak hikmah implisit dalam tiap lika-liku perasaan para tokoh yang dihadirkan: cinta, kejujuran, ketulusan, pengorbanan, kepasrahan, dan keberanian.



Problematika Cinta: Sebuah Refleksi



Kita mungkin pernah sama-sama merasakan layaknya seperti Sayyid Quthb bahwa ada suatu fase dalam hidup kita saat dimana pikiran, hati, kaki, tangan, dan jiwa kita disinggahi oleh cinta. Bahkan kita juga sempat mencicipi bagaimana segala kebahagiaan hidup ditentukan dari kesuksesan cinta dalam balutan standar manusia. Pada konten ini kemudian cinta berubah menjadi sayembara yang kerap melontarkan kata-kata penjara jiwa seperti “Hidup kita hancur tanpa keberhasilan menaklukan cinta”. Sedangkan, remaja kerap berkata, “Jika mempunyai kekasih, belajar rasanya akan lebih termotivasi”. Malah bisa jadi ada sumpah serapah yang terlontar kepada laki-laki atau perempuan yang telah mengkhianati cinta kita. Ikhwatifillah, tanpa disadari ternyata kita sudah meletakkan sesuatu yang pasti kepada manusia yang lemah, individu yang justru tak tahu masa depan itu sendiri!



Ketika kita mulai menjajakan cinta dan menggantungkan harapan cinta itu kepada manusia, yakinlah ikhwah, yang ada hanyalah kekecewaan, karena kemampuan manusia sangatlah terbatas. Ia tidak bisa memastikan, lebih-lebih menjadi penentu takdir kita. Padahal manusia tetaplah manusia dengan segala kelemahannya. Adagium, sepandai-padaninya tupai melompat akhirnya jatuh juga bukan sekedar pepatah dalam rangka mengingatkan ikhtiar manusia, karena pada kenyataannya, Allah telah menggariskan kemampuan manusia jauh sebelum adagium itu hadir. “Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”(QS. An-Nisa, 28).



“Allah telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian menjadi lemah dan tua.” (QS. Rum, 54).



Bahkan pada momentum ayat yang lainnya, Allah dengan terang-terangan mengidentifikasikan manusia dalam keadaan yang begitu rentan terhadap hati. Dalam surah ke 70 ayat 19, Allah berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”,



Tidak berakhir di situ, kemudian Allahpun menjelaskan lagi perihal makhluk hidup yang akan membuat kita terangsang untuk lekas mengintropeksi diri, muhasabah, dan kembali kepada khittah kehidupan cinta, yakni firman yang berbunyi selang dua ayat berikutnya, “dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.



Ada banyak varian dari timbulnya problematika cinta, salah satunya bagaimana kita salah mengelola qalbu dalam cinta. Qolbu adalah wilayah yang urgen dalam kehidupan, hingga Rasulullah pernah mengeluarkan hadisnya yang menyentuh,



“Ketahuilah sesungguh dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia baik seluruh jasad akan baik pula. Jika ia rusak maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.”



Banyaknya manusia yang terpuruk dalam cinta dan dikuasai hawa nafsu tak lepas karena kita telah menggantungkah harapan kepada selain Allah. Merasa diri sombong dengan meletakkan ayat-ayat ilahi sebagai prioritas kedua dalam mengatasi permasalahan kita.



Salah Satu Kunci Kenyamanan Hidup Dimulai Dari Bagaimana Kita Mampu Membangun Suasana Hati.



Saudaraku, belajar dari kisah cinta Sayyid Quthb, percayalah bahwa hati yang cemas, kikir, gelisah, kotor, dan merasa lelah menjalani hidup, dikarenakan kita sudah meletakkan standar-standar duniawi sebagai syarat kebahagiaan hakiki. Kita rela menyiksa hidup dengan syarat-syarat wahn yang sebenarnya tak bisa kita lakukan. Kalau kita mau jujur, kesemua itu malah jauh dari sumber kebahagiaan yang sebenarnya, yakni ketenangan hati untuk bagaimana kita selalu berusaha dekat dengan Allah.



Saudaraku, Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu pernah berkata bahwa “Tidak sempurna keselamatan qalbu seorang hamba melainkan setelah selamat dari lima perkara: syirik yang menentang tauhid bid’ah yang menyelisihi As-Sunnah, syahwat yang menyelisihi perintah kelalaian yang menyelisihi dzikir dan hawa nafsu yang menyelisihi ikhlas.” Hamba yg memiliki qalbun salim akan selalu mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia yg mana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan tempat di surga.



Saudaraku, salah satu kunci kenyamanan hidup dimulai dari bagaimana kita mampu membangun suasana hati. Jika hati kita ikhlash dan bersih dengan penuh ketawadhuan, sesuatu yang kita pandang hina jadi sedemikian mulia, yang tadinya kita pandang kurang ternyata teramat cukup, sesuatu yang kita lihat kecil dan tak berdaya berubah jadi sangat besar dan penuh makna, dan apa yang kita lihat sedikit, ternyata terlampau banyak. Dan itu di mulai dari bagaimana kita hanya bergantung kepada Allah dan menjadi Allah sebagai satu-satunya zat yang mampu membuat kita bangkit setelah terjatuh.



Sekarang pertanyaannya apakah kita mau melepaskan segala ukuran ideal kehidupan kita, kesombongan kita atas pilihan yang jauh dari genggaman kesanggupan kita. Kini, apakah kita juga rela berhenti sejenak melepas atribut keduniawian kita untuk menghadap one by one dengan Allah dengan berkata jujur di depan SinggasanaNya. Jika kita berani, rasakanlah ada aliran kesejukan dan ketenangan yang sebelumnya tidak kita rasakan. Ia menentramkan. Ia pun mampu merubah paradigma kita tentang cinta, hidup, dunia, ujian, dan sebagainya sama sepertia yang Sayyid Quthb rasakan. Jika kita masih bergeming, yakinlah sebenarnya itu kembali kepada diri kita pribadi.



“Maka apabila hari kiamat telah datang. Pada hari ketika manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya. Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada tiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia maka sesungguh nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yg takut kepada kebesaran Rabb dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu maka sesungguh surgalah tempat tinggalnya.” (An Naziat ayat 34-42)



wallahu'alam...



Referensi:

Cinta vs Takdir, http://islamiccenter88.blogspot.com/.

Dengan Islam kupinang cinta, Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi.

Dirosah Islamiyah, Sayyid Quthb.

Ma’alim Fiththariq, Sayyid Quthb.

Benarkah cintamu cinta sejati...... ( kisah menyakitkan)


Berikut adalah catatan FB dari keponakanku yang lagi di pesantren semoga bisa diambil ibrohnya:
oleh Abdurrahman Nasrulloh Husein

Para ulama' sejarah mengisahkan, pada suatu hari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu 'anhu bepergian ke Syam untuk berniaga. Di tengah jalan, ia melihat seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi. Tanpa diduga dan dikira, panah asmara Laila melesat dan menghunjam hati Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu 'anhu. Maka sejak hari itu, Abdurrahman radhiallahu 'anhu mabok kepayang karenanya, tak kuasa menahan badai asmara kepada Laila bintu Al Judi. Sehingga Abdurrahman radhiallahu 'anhu sering kali merangkaikan bair-bait syair, untuk mengungkapkan jeritan hatinya. Berikut diantara bait-bait syair yang pernah ia rangkai :

Aku senantiasa teringat Laila yang berada di seberang negri Samawah

duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku?

Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita

paras wajahnya slalu membayangi mataku dan menghuni batinku.

Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya,

semoga bersama kafilah haji, ia datang dan akupun bertemu.

Karena begitu sering ia menyebut nama Laila, sampai-sampai Khalifah Umar bin Al Khattab radhiallahu 'anhu merasa iba kepadanya. Sehingga tatkala beliau mengutus pasukan perang untuk menundukkan negri Syam, ia berpesan kepada panglima perangnya: bila Laila bintu Al Judi termasuk salah satu tawanan perangmu (sehingga menjadi budak), maka berikanlah kepada Abdurrahman radhiallahu 'anhu. Dan Subhanallah, taqdir Allah setelah kaum muslimin berhasil menguasai negri Syam, didapatkan Laila termasuk salah satu tawanan perang. Maka impian Abdurrahmanpun segera terwujud. Mematuhi pesan Khalifah Umar radhiallahu 'anhu, maka Laila yang telah menjadi tawanan perangpun segera diberikan kepada Abdurrahman radhiallahu 'anhu.

Anda bisa bayangkan, betapa girangnya Abdurrahman, pucuk cinta ulam tiba, impiannya benar-benar kesampaian. Begitu cintanya Abdurrahman radhiallahu 'anhu kepada Laila, sampai-sampai ia melupakan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, maka istri-istrinya yang lainpun mengadukan perilaku Abdurrahman kepada 'Aisyah istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan saudari kandungnya. Mensikapi teguran saudarinya, Abdurrahman berkata:

"Tidakkah engkau saksikan betapa indah giginya, yang bagaikan biji delima?"

Akan tetapi tidak begitu lama, Laila mengobati asmara Abdurrahman, ia ditimpa penyakit yang menyebabkan bibirnya "memble" (jatuh, sehingga giginya selalu nampak). Sejak itulah, cinta Abdurrahman luntur dan bahkan sirna. Bila dahulu ia sampai melupakan istri-istrinya yang lain, maka sekarang iapun bersikap ekstrim. Abdurrahman tidak lagi sudi memandang Laila dan selalu bersikap kasar kepadanya. Tak kuasa menerima perlakuan ini, Lailapun mengadukan sikap suaminya ini kepada 'Aisyah radhiallahu 'anha. Mendapat pengaduan laila ini, maka 'Aisyahpun segera menegur saudaranya dengan berkata:

يا عبد الرحمن لقد أحببت ليلى وأفرطت، وأبغضتها فأفرطت، فإما أن تنصفها، وإما أن تجهزها إلى أهلها، فجهزها إلى أهلها.

"Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahman pun memulangkan Laila kepada keluarganya. (Tarikh Damaskus oleh Ibnu 'Asakir 35/34 & Tahzibul Kamal oleh Al Mizzi 16/559)

Bagaimana saudaraku! Anda ingin merasakan betapa pahitnya nasib yang dialami oleh Laila bintu Al Judi? Ataukah anda mengimpikan nasib serupa dengan yang dialami oleh Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu 'anhu?

Yaa allah semoga saya tidak terjatuh seperti sahabat Rosull ini.............. ( amin)

Minggu, 24 April 2011

Balada Sebuah TV Tuner



Alkisah terdapat TV tuner yang nyambung ke monitor komputer untuk menonton Channel –Channel TV yang mengasyikkan dan menggairahkan di hari-harinya. Kenapa tidak, lihat saja banyak acara yang begitu menakjubkan. Dari berita khas yang memojokkan di pagi hari, ghibahtainment siangan dikit, pas terik matahari acara ulangan kejadian miris pagi, sore hari yang menuangkan acara penuh tangisan tipuan penuh kekerasan, malam selepas petang Sinetron murahan tanpa makna yang digemari ibu-ibu, dan terakhir, acara panas di malam hari yang menggerahkan bujang serta mojang. Itulah derita TV tuner yang sebenarnya, muak dengan kenyataan dirinya yang hina karena dipaksa melayani nafsu bejat pemiliknya.

Suatu hari, TV tuner yang sudah berhari-hari mengalami siksaan bathinnya terlihat mulai lesu. Gambar yang dihasilkannya ke monitor sudah mulai rabun dan pudar. Warna hitam-putih mulai ditampilkan ketika ia pertama kali disentuh tombol merah powernya. Kelihatannya, TV tuner sudah menampakkan gelagat tidak beres. Tapi ini baru awal dari penderitaannya yang panjang. Berselang beberapa hari kemudian karena ia terus dipaksa memenuhi hasrat pemiliknya . Ia akhirnya berwarna biru dan bergoyang-goyang gambarnya di awal warna yang ia berikan kepada si pemilik yang mau menonton.

Sebenarnya, dalam lubuk komponennya si TV Tuner berkata “mengapa pemilikku terus memaksaku yang sedang sakit ini”. “Apakah si pemilik tak mersakan sakitnya ketika aku dimanfaatkan terus menerus untuk menampilkan keburukan yang aku sendiri tidak mau” Lirih TV tuner

Hari demi hari telah berganti si TV turner semakin akut sakitnya dan saat ini sedang sekarat di atas meja Komputer. Si pemilik terlihat begitu khawatir dn panik setelah melihat kenyataan Si TV tuner sudah nyaris menghadapi sakaratul mautnya. Usaha untuk membuka dan memperbaiki komponen di dalamnyapun tidak memberikan dampak apa-apa, semua sia-sia. Antena baru tak menambah kondisi TV turner yang terus menurun. Akhirnya, tepat 2 hari setelah perbaikan manual si pemilik. Si TV tuner wafat dan kembali menjadi rongsokan.

Sekarang, hanya tersisa si pemilik yang sedih kehilangan TV tuner kesayangannya. Ia meratapi kepergiannya dengan dendam untuk membeli yang baru. Tapi apa daya kemampuan finansialnya tak cukup untuk membeli yang baru apalagi beli TV yang keluaran terbaru. Akhirnya, si pemilik saat ini hanya mampu bermain komputer tanpa mampu menonton TV lagi.

Terlepas kejadian tersebut, perlahan tapi pasti. Si pemilik akhirnya keranjingan menulis keluh kesahnya di komputer, setelah ia mengawalinya dengan curhat tentang kenangan indahnya bersama almarhum TV tuner. Dan akhirnya, si pemilik berubah menjadi orang baru yang mampu produktif untuk kehidupannya. Tiada lagi yang menyita perhatiannya dengan suatu berita, tiada lagi kisah provoktif yang ingin ia ceritakan kepada temannya yang lain sesama penikmat Chanel TV. Inilah yang membuatnya mengerti dan bersyukur tentang arti pengorbanan sang TV tuner Yaitu, semata-mata agar si pemilik lebih menempatkan dirinya kepada langkah pasti di kehidupannya bukan di dunia hayalan hasil pendidikan dan pembinaan StasiunTV. Ini bukanlah langkah semu yang dipaksakan dari kepemilikan sebuah TV tuner, Tapi ini langkah solutif untuk memilih kehidupanmu.

Di dedikasikan bagi para penikmat TV yang terlalu egois dan otoriter terhadap Hak Asasi TV (HAT)

Rabu, 20 April 2011

KARTINI, MUSLIMAH PENCARI CAHAYA


“Ibu kita kartini, Pendekar Bangsa
Pendekar kaumnya, untuk merdeka”


Kisah ini mungkin terlalu sering kita dengar melalui nyanyian lagu-lagu nostalgia Indonesia semasa kecil tersebut. Lantunan nada mudah yang menyimpan kisah perjuangan seorang wanita dari karangan W.R. Supratman ini begitu bergelora. Seharusnya, sudah jelaslah bagaimana kita mengartikan arti sebuah perjuangan seorang Kartini. Terlepas dari kontroversi sejarah yang diputar balikkan oleh kaum pagan. Ia tetap merupakan sosok mujahidah yang telah mencatatkan sejarah dengan membuka akses pendidikan yang dibendung oleh sistem sosial yang tidak berkeadilan.

"Panggil Aku Kartini saja—itulah namaku!" Itulah ungkapan yang dilontarkan Kartini ketika menampik panggilan Raden Ajeng yang diberikan kepadanya sebagai seorang putri bangsawan (bupati). Kerendahan hati mampu mereduksi dirinya sebagai seorang kritikus kemapanan yang solutif. Kecerdasannya terhadap penguasaan bahasa, menjadi kekuatan diplomatis yang menghantarkannya dihargai lebih oleh orang di sekitarnya. Dia pernah berkeluh-kesah tapi dia juga mengimbanginya dengan cara pantas untuk bertanya tentang solusi masalah yang dihadapi. Puncaknya, ia menanyakan kembali arti eksistensi iman dalam keislamannya yang terombang-ambing dalam pribadi terpingit yang menutup akses pengetahuan agama.

Seperti ungkapannya dalam suatu surat kepada teman korespondensinya di belanda:

“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajari membaca Al-quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholih pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?” (Surat Kartini kepada Stella, 6 November 1899).

Inilah yang perlahan namun pasti, Allah rancangkan jawaban atas pernyataan serta usahanya tersebut. Ia pun mulai berkelana dalam kehidupan pencarian jati diri imannya. Hingga suatu saat, ia temukan dalam suatu kajian ilmu tafsir Al-quran yang diberikan oleh Kyai Haji Sholeh Darat sebagai renungan dan jawaban pengelanaan keimanannya selama ini. Kartini begitu takjub akan makna Al-quran dan membuatnya tersadar oleh keimanan yang sebelumnya sempat lunglai oleh hasutan “misionaris” yang keji. Seperti dialognya:

"Kyai, perkenankanlah saya menanyakan sesuatu. Bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, tapi menyembunyikan ilmunya?" Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu. "Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?" Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya. "Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, tapi aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

Setelah menghilangkan keraguannya dengan keyakinan terhadap Islam, mulailah petualangan Kartini. Ia bertambah semangat dengan menjadi garda terdepan terhadap proses pencerdasan kaum wanita di bidang ilmu pengetahuan umum serta di bidang keagamaan. Ia berjuang melalui tulisan di media maupun kegiatan sosial pendidikan lainnya.

“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

Dari uraian di atas, pantaslah bagi kita merenung secara maksimal hari ini. Janganlah menunggu masa yang tiba dengan sempurna. Untukmu duhai sahabatku, sudahkah anda saat ini menjadi pribadi yang terus mencari jati diri keislaman Anda? Atau kita hanya merupakan bulir debu dari sejarah peradaban Islam yang mudah tertiup angin sehingga mudah terhapus dan tidak dikenal kebaikannya sebagai seorang khalifah Allah di muka bumi dan bagian dari umat terbaik ini. Mari kuatkan pemahaman Iman kita, untuk selalu berujar kepada semesta megah ini. Dengan kalimat syukur kita atas bimbingan Illahi.

Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya, (Q.S. Al Baqoroh:257)

“ Door Duisternis Tot Licht ”
(Minazh-Zhulumaati ilan Nuur)
Dari Kegelapan Menuju Cahaya


Oleh : Muhammad Haden Aulia Husein
Sumber : http://rumahzakat.org/detail.php?id=8073&kd=A
  • Berkumpul aneka ragam warna-warni itu lebih banyak disukai dari pada tersendiri, dan itu menunjukan sinergitas, ..
  •